SONI, HIDUP BELUM BERAKHIR

07.50 Diposting oleh dzero buletin

Hari-hari berlalu, Soni merasa hidupnya kian hampa dan tak punya arti. Apa artinya hidup jika kanker sialan itu terus menerus menggerogoti tubuhnya? Untuk apa hidup jika setiap hari yang terasa hanya sakit, perih dan pedih?

Diremas rambut ikalnya keras. Seolah mencoba menyalurkan setiap rasa marah dan putus asanya. Lalu ia berhenti meremas, dan memandang segumpal bola rambut yang baru saja lepas dari kulit kepalanya. Produk alami hasil kemoterapi, kata kakaknya sambil tersenyum. Mungkin dianggapnya itu lelucon, namun bagi Soni itu adalah ejekan yang sangat mengiris batinnya.

Dilihatnya senja mulai turun. Matahari berwarna kemerahan telah menjelma kehitaman di matanya. Tiap memandang senja, ia akan teringat maut, dan bukannya bayangan romantis seperti saat ia pertama memandang senja bersama dengan pacarnya yang telah meninggalkannya saat ia berjuang melawan kanker. Digigitnya bibirnya berlahan.

“Sony, masuk nak.”

Ia menoleh. Mamanya tersenyum di belakangnya.

“Bentar lagi ma. Sony mau lihat senja.” Lalu tanpa dapat ditahannya, kata-kata itu meluncur begitu saja. “Mungkin untuk terakhir kalinya ya ma.”

Ia merasakan ibunya membeku berlahan. Selanjutnya pintu kasa menutup berlahan dan suara langkah ibunya yang tergopoh-gopoh itu, pastinya sekedar untuk menutupi air mata yang mengalir. Ibunya selalu ingin terlihat tegar di depannya.

Ah, Soni kembali menatap senja. Apa yang disedihkan ibunya? Toh bukan otak ibunya yang digerogoti oleh kanker. Juga bukan ibunya yang harus berjuang keras melawan kemoterapi. Semua bukan ibunya yang merasakan. Ia, Soni Gunawan, kelas tiga SMA, siswa berprestasi yang telah meraih USMU FK UI, ialah yang merasakan semua pedih dan sakit.

Soni merasa sunyi. Sesunyi jalanan depan rumahnya. Para pejalan kaki telah menghilang, demikian juga dengan para pengendara motor dan mobil. Yang tampak hanya anjing, kucing, dan sebangsanya yang lalu lalang dengan mata bercahaya.

Soni terus melamun. Beberapa menit lagi adzan maghrib akan segera berkumandang, tapi ia tidak peduli.

“Son!”

Panggilan itu membuatnya tersentak sesaat. Soni segera melongokkan kepalanya ke belakang, mengira kak Aning, kakaknya yang hobi berteriak memanggilnya. Tapi panggilan kedua dari arah depan segera menyadarkan Soni.

Sosok itu melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Soni menajamkan pandangannya yang mulai kabur.

“Early!” teriaknya gembira. Teman kompaknya semasa SD itu tiba-tiba menjelma di depannya. “Ngapain maghrib-maghrib gini datang bertamu?”

“Hah! Bertamu? Siapa lagi? Aku cuma kebetulan aja lewat sini. Malam ini nginap di rumah tante. Son, aku pulang dulu ya, udah mau gelap ni. Besok kita ngobrol-ngobrol ya. Daag…” early melambai dengan kenesnya. Langsung lari meninggalkan Soni dengan tas ransel berayun-ayun di punggungnya.

Soni masih tenggelam dalam euphoria masa lalu melihat Early. Ah, serasa kemarin mereka masih bermain bersama, saling mencontek peer.., hingga ayah Early meninggal dan keluarganya pindah ke kota lain. Tapi sekarang Early sudah dewasa, rambutnya yang cepak tidak banyak berubah, hanya tubuhnya bertambah tinggi. Dan gaya kemayunya itu… tidak pernah berubah.

“Soni?” suara mamanya yang halus kembali terdengar.”Masuk yuk?”

Soni mengangguk. Dengan senyum simpul di bibirnya, ia bergegas meninggalkan kursi rotannya. Meninggalkan mama yang masih termangu campur gembira dengan perubahan sikapnya.

***

“Hai, kok melamun sih?” Early melambaikan tangannya di muka Soni. Soni berpaling, wajahnya merengut.

“Habis kamu sih, ngapain juga ngajak aku ke tempat beginian? Gak ada fun-nya nih!” Soni melempar pandangan tidak senang ke arah sekelompok anak kecil bertubuh kurus yang sedang berebut mainan. Early memalingkan wajahnya, mengikuti arah pandangan Soni.

Early malah tertawa, “Kok gitu? Bagi aku, ini yang paling fun. Lagian, Rasulullah juga bilang, carilah Allah di antara anak yatim. Nah, kita kan udah dekat dengan anak yatim, maka kita dekat juga dengan Allah. Masa dekat dengan Allah enggak fun?”

Soni terperangah mendengarnya,”Sejak kapan lo pandai ceramah?”

“Yee…gini-gini ike anak mushalla juga. Jahat lo ah!” Early memukul pundak Soni dengan gaya kenesnya sampai Soni mengaduh sesaat. Saat itu Early memanggil seorang anak perempuan, “Dara, sini!”

Anak itu berlari cepat ke arah Early. Tampak sekali anak-anak itu sudah akrab dan kenal baik dengan Early.

“Dara, kenalin ini kak Soni. Kawan kak Early”

Soni mengulurkan tangannya dan anak itu menyalaminya dengan malu-malu. Tanpa sengaja, Soni melihat kedua kaki Dara yang lebam-lebam. Mungkin jatuh. Tubuhnya juga kurus dan kecil sekali.

“Umur Dara berapa sekarang?”

Gadis itu menjawab dengan malu-malu, “Delapan tahun.”

Soni agak terkejut. Gadis kecil ini terlihat nyaris seperti anak lima tahun. Tinggi badannya bahkan tidak sampai sepinggang Early. Padahal Early juga tidak tinggi, hanya seleher Soni.

“Dara kelas berapa di sekolah?”

Dara memandang Early, lalu menggeleng.
“Dara gak sekolah lagi. Kata bunda, Dara bentar lagi mau ke surga.”
Mata Soni berkejap.

“Surga?” ia mengulang. Dara mengangguk, lalu ia memandang Early, tampak bosan ditanya-tanya terus.

“Kak, Dara udah boleh pergi? Mau main sama teman-teman.”

Early mengangguk. Dara langsung menghambur kepada sekelompok teman-temannya. Soni berpaling menatap Early. “Maksudnya apa Ear?”

Early tersenyum, “Itulah ia Son, anak yatim piatu yang paling tegar. Sejak kecil gak punya orang tua lagi. Trus oleh bibinya, ia dititipin ke panti asuhan ini. Lima tahun lalu, Dara divonis mengidap kanker hati. Dan sekarang sudah stadium dua. Ia tahu dan sakitnya sering kambuh. Hebatnya, ia selalu bersikap riang hidupnya seolah tak akan berhenti. Ia hanya berkata dengan polos dan lugunya, tiap kali rasa sakit menyerang; ‘ini artinya Dara akan ke surga bentar lagi ya?’ itu selalu yang akan ia katakan. Aneh ya? Anak sekecil itu sudah belajar banyak tentang harga hidup dalam usianya yang masih sangat muda.”

Soni mengarahkan pandangan matanya yang mulai terasa kabur tersumbat air mata. “Kenapa tidak diobati?”

Early mengangkat bahu.”Kurasa itu pertanyaan yang gak perlu jawaban deh Son. Kita tahu miskinnya pemerintah kita, miskinnya panti asuhan, biaya pengobatan yang mahal, dll. Yang gitu-gitu gak usah diomongin, mumet kepala. Lanjut soal Dara ya, hebatnya lagi, ia masih bisa bercita-cita lho. Tahu gak apa cita-citanya? Jadi dokter! Dan waktu ditanya kenapa sama bunda alias ibu kepala panti, tahu gak jawabannya apa? Gini ‘biar orang-orang yang mau ke surga kayak Dara gak ngerasain rasa sakit dan sedih lagi’. Bayangin, ia pingin jadi dokter yang mempersiapkan pasiennya menghadapi kematian dengan positif! Yah, gak salah juga saja sih…” early terus saja berceloteh tentang Dara. Sedang Soni, dengan matanya yang tersa makin berat menahan beban air mata menatap ke arah Dara dan kelompok teman-temannya. Ah, anak sekecil itu, apa yang dia tahu tentang hidup? Mungkin lebih banyak dari yang ia tahu.

Di tengah celotehan Early, suara riuh anak-anak panti yang tengah bermain, dan gemuruh hatinya sendiri, Sony merasa sangat beruntung. Beruntung, Karena ia telah diberi kehidupan yang bahagia. Dan diberi kesempatan untuk sadar bahwa ia bahagian dan beruntung. Sakit kepalanya mulai datang kembali, tapi Soni tidak menghiraukannya. Ia hanya ingin menumpahkan segenap perasaannya. Biar lega, biar hilang semua benci, semua sakit. Lamat-lamat suara nge-bas Early terdengar,“Eh Son, kok nangis sih? Son? Soni! Aduuh…jangan pingsan disini dunk!”

0 komentar:

Posting Komentar