EARLY, DI SUATU SIANG

05.22 Diposting oleh dzero buletin

Tujam (satu jam) adalah nama untuk rubrik cerpen di buletin D'Zero ini:)

Early = awal.
Di suatu pagi, aku melihat kembali ejaan nama di badge nama yang tertempel mesra di bajuku. Aku sudah SMU sekarang! Ini awal dari kehidupan baru. Awal, seperti namaku.
Jadi filosofis ya? Maklum, lagi gembira banget menginjak masa-masa yang kata orang zaman dulu sih, adalah masa terindah dalam hidup. Kan ada tuh lagunya. Gimana ya, rada-rada lupa sih.
Kurapikan sekali lagi rambut, kemeja, dan celana panjang abu-abuku. Abu-abu! Aku kembali tersenyum.
Ups! Jam 7 tepat. Aku harus berangkat sekarang atau berpotensi telat di hari pertama. Kuhampiri sepeda unta merah menyala milik ayah yang sudah kurenovasi di halaman depan. Aku buru-buru menaikinya. Tapi kok ada yang lupa ya? Rasanya sih...
”Early!”
Tuh kan, aku lupa permisi sama mama. Dengan mesra aku menyiumi tangan lembut mama tanpa turun dari sepeda nyentrikku.
”Pergi dulu ya ma! Assalamu’alaikum!”
Tanpa menunggu jawaban mama aku segera melesat. Bagai burung merpati yang dipanggil pasangannya. Ciee... perumpamaan dari mana sih.
Aku bergegas. Ups! Kata mama kan gak boleh terlalu ngebut. Bisa tabrakan. Tapi aku suka ngebut. Gimana ya?
Sesampai di sekolah, aku buru-buru memarkir sepedaku di sembarang tempat, dekat motor-motor mengkilap yang membuatku kagum. Anak SMU kaya-kaya ya? Sedang aku... kapan ya bisa naik motor? Walau punya sekalipun, pasti mama gak ngijinin. Kata mama, aku terlalu lembut untuk naik motor. Duh mama nganggap aku apaan sih? tapi gak papa kok, asal mama senang.
Aku celingukan juga mencari kelas baruku. Kelas 1-1 yang mana sih? Katanya kelas inti, tempat anak-anak pintar. Tapi sekedar nyari papan namanya aja susah banget...
”Aditya!” aku memanggil cowok ganteng dengan dagu belah yang sedang berjalan bersama serombongan cowok-cowok lain. Aku melambaikan tangan dengan gembira padanya. Dia teman baikku waktu SMP dulu. Hanya saja sewaktu kelas 3 dia pindah.
Kangen!
Eh? Aditya malah melengos. Aku terkesima. Ah, kali aja nggak liat, aku mencoba berprasangka baik. Mungkin juga agak lupa ma aku ya?
Atau jangan-jangan... nada-nada negatif mulai bergaung di telingaku.
Gak mungkin. Aku langsung menepisnya. Aditya nggak seperti yang lain. Dia istimewa. Dia kan sahabat sejatiku. Best friend forever.
Kukejar ia dengan tergesa-gesa. Kulihat sosoknya masuk ke sebuah ruangan. Aha! Kelas 1-1 yang kucari. Rupanya Aditya sekelas denganku. Lucky!
Aku mengambil langkah-langkah panjang memasuki kelas. Tuh kan, Aditya duduk di bangku depan. Baru aja aku mau ngambil posisi di sampingnya saat seorang cowok sangar menepuk pundakku.
”Sorry ya. Itu bangku aku.”
Aku menatap Aditya, tapi ia malah menunduk sambil membuka bukunya.
What’s wrong, Adit?
Aku memutuskan mengalah. Tapi bertekad akan konfirmasi ulang tentang sikap anehnya Aditya.
Karena semua bangku penuh aku memutuskan duduk di belakang. Sendiri.
Belum-belum, kerianganku udah memudar separuhnya.
Semangat Early! Hatiku memberi support. Show your best!
Keadaan akan membaik. Pikirku saat itu.
Rupanya, aku harus menggeleng nih. Hmmm...
Ketika perkenalan, aku mendapat sambutan meriah. Biasa, jadi bahan lelucon dan dicemooh. Ini emang udah biasa sih. tapi aku tetap aja sedih. Karena, Aditya juga menertawakan aku.
Kenapa?
Semakin lama aku di sekolah ini, situasinya bukan membaik, malahan semakin memburuk. Sewaktu pelajaran, saat aku mengajukan pertanyaan, saat istirahat, aku cuma dijadikan olok-olokan dan bahan tertawaan.
”Idiih...balon yee.”
”balon?” aku terheran-heran.
”Bancie salon gitu lho. Haha...”
Sebenarnya bukan perkara luar biasa sih. di SMP keadaan juga nggak beda jauh. Hanya saja di SMP ada Aditya yang selalu membelaku. Ia akan menghiburku saat aku menangis, bahkan membiarkanku menangis di pundaknya. Ia juga yang selalu memompa semangatku untuk menerima diriku apa adanya.
Kugigit bibirku perlahan. Mataku hangat melihat Aditya yang duduk di kantin bersama sederetan teman barunya. Ia tertawa-tawa dengan gaya yang begitu macho. Kemana Aditya yang kukenal?
Aditya yang kukenal jelas bukan sosok yang sedang minum teh botol sambil menyuiti cewek yang lewat. Jelas bukan! Aditya yang kukenal adalah cowok alim yang selalu mengajakku shalat berjama’ah di mesjid, yang selalu berada di shaf depan saat shalat Jum’at, dan sangat menghargai perempuan.
Inilah kesuraman di hari pertamaku.
Ketika pulang, aku melihat Aditya duduk di depan sekolah. Aku sengaja melewatinya pelan-pelan. Ingin banget menyapanya, tapi takuut...
Benar aja, ia pura-pura gak liat. Padahal dari jarak seratus meter aja orang biasanya udah perhatiaan sama sepedaku yang seperti sepeda karnaval untuk acara tujuhbelasan ini. Benar rupanya dugaanku. Ia nggak mau kenal aku lagi.
Duuh...makin sedih ni.
Aku menegarkan hati dan terus mengayuh sepedaku tanpa melihat ke belakang.
“BUUK!”
Eh, apaan tuh?
Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Hatiku langsung berhenti berdetak.
ADITYA!
Beberapa orang laki-laki besar memukulinya. Wajah mereka berkerut. Segala macam tinju, tendangan, dan pukulan benda-benda tumpul mendarat ke tubuh Aditya. Aku melihatnya dari jarak yang agak jauh. Gemetaran.
Gimana nih? Apa yang harus kulakukan? Mana lingkungan sekitar terlihat sepi. SMU kami memang letaknya nggak strategis. Agak jauh dari pinggir jalan.
Aku semakin deg-degan. Apa yang bisa kulakukan? Samar-samar kudengar teriakan mereka dan rintihan Aditya!
”Jangan ganggu cewek orang bego!”
”Anak baru songong!”
BUKK
”Ampuuun...”
”Rasain! MAKAN NIH!”
”Arrgh...”
Aku tidak tahan melihatnya. Aditya, sahabat yang dulu selalu membelaku, kini dihajar seperti itu.
Entah keberanian dari mana, kubalikkan arah sepedaku. Konsentrasi.
Sekarang!
Kukayuh sepedaku sekencang-kencangnya ke arah mereka. Kukerahkan segenap impuls saraf ke kakiku. Menambah kekuatan genjotan hingga maksimal. Aku berteriak sekeras-kerasnya.
”AAAAAA!”
Mereka kaget dan langsung berpencar. Kubelokkan sepedaku sekuat tenaga ke arah cowok yang paling gendut yang sedari tadi menghantam perut Aditya.
“DUAKK!”
Brukk...
Aku terlempar dari sepedaku dan terbanting keras ke jalan raya. Sakit banget! Seluruh sendi-sendiku seperti melonjak dari engselnya. Aku mencoba bangkit. Kulihat gangster penjahat itu telah sadar dari kekagetan mereka dan sekarang mengepungku. Aku sontak gemetar.
”Eh, banci! Sok jadi pahlawan ya!”
”A-ampun bang.”
” Mamaaaaa...” rintihku
Bagaimana ini? Sedang Aditya masih tengkurap tak berdaya. Gigiku gemeletukan keras. Mama! Aku akan mati! Maafin Early ma...aku meracau dalam hati.
”Kita apain nih?”
”Mampusin aja! Banci kayak dia, satu pukulan juga udah KO!”
Aku semakin merinding mendengarnya. Duuh... coba aku gak sok pahlawan tadi. Tapi kalau enggak, gimana nasib Aditya jadinya?
Mereka mengepungku semakin rapat. Aku bergetar, rasanya celanaku sudah basah. Ya Allah, Save me...
SAVE US!
Tiiin..tiiin...
Kejutan! Allah mengabulkan do’aku rupanya. Para gangster penjahat langsung panik dan kabur. Mobil kepsek rupanya!
”Ada apa ini?” kepala sekolah turun dari mobil. Pandangannya langsung terpaku ke Aditya yang berlumuran darah.
”Masya Allah!” kepsek langsung bergetar hebat. Aku masih gemetaran.
”Angkut dia ke mobil saya. Kamu,...tolong bantu!”
Aku patuh. Berdua dengan kepsek aku mengangkut Aditya ke dalam kijang hitam metalik ini. Berat sekali. Tapi tak ada orang lain di sekitar yang dapat dimintai tolong.
Sepanjang perjalanan aku terus berdo’a. Sedang kepala sekolah tampak sangat gugup, berkali-kali kami nyaris mengalami kecelakaan. Ketika mobil yang kami tumpangi sampai di pintu rumah sakit, kepsek tak henti-hentinya mengucap hamdallah.
Paramedis mengangkut Aditya. Kondisinya terlihat parah. Ini kulihat dari banyaknya darah dan lebam di tubunya.
Aditya, jangan mati!
Kutunggui ia semalaman. Semua bagai mimpi. Aku serasa melayang saat pak kepala sekolah meminta nomor teleponku. Juga saat mama datang dan memelukku. Aku mati rasa.
Pagi datang, bagaimana dengan Aditya?
”sudah sadar.” sahut dokter wanita berwajah lilin yang baru keluar dari ruang perawatan Aditya. Aku segera menghambur ke ruangannya tanpa mempedulikan mama dan perawat yang berteriak-teriak melarangku masuk. Aku ingin melihat Aditya!
Lalu disitulah ia. Berbaring lemah dengan infus di tangannya dan perban di membalut tangan dan kakinya. Aku mendekatinya. Rasa canggung masih terasa. Ia menoleh perlahan.
Menatapnya, aku mati rasa. Masihkah ia Aditya yang kukenal?
”Early...” pelan namaku terluncur dari mulutnya.
”...awal banget ya?”
Ini humor kami untukku yang selalu terlambat di masa SMP. Aku menahan air mata.
”Pahlawan ya?” ia tersenyum kecil. Senyum konyol Aditya-ku. Di matanya ada rasa bersalah dan permintaan maaf yang sudah kukenal sekian tahun.
Aku tidak dapat menahan air mata. Sahabatku tidak jadi hilang!
Terima kasih ya Allah... terima kasih untuk inspirasi keberanian siang itu...:)

2 komentar:

  1. Suprih's Blog mengatakan...

    Nah ini kisah pengalaman yang perlu dibaca bagi yang sedang berkunjung, ayo baca dulu jangan tergesa-gesa pergi.

    cari manfaat dari tulisan ini ya....

  2. dzero buletin mengatakan...

    @suprihatin: makasih untuk komentarnya. Semoga tulisan ini bermanfaat

Posting Komentar